Penasihat

Pelajari lebih lanjut tentang Pendiri sekolah Fikar

Per April 2017, Dewan Penasihat Fikar School kembali dijabat oleh Bapak Donny Adiguna, pendiri Fikar School. Fikar School telah dibangunnya sejak tahun 2008. Ia bukanlah orang baru di dunia pendidikan. Melalui perjuangannya, Sekolah Fikar yang bermula dari tiga orang siswa, kini meningkat hampir mendekati angka 100, sebuah prestasi yang luar biasa.

Berikut biografi singkat pendiri Fikar school, Bapak Donny Adiguna :

Name : Donny Adiguna

Training & Working experiences :
• Lincensed Seven Habits of Successfull Families Fikar School Internal Facilitator (Dunamis) ~ 2016
• Fundamental Leadership Program (Dale Carnegie) ~ 2015
• Lincensed NLP Practitioner by TaD James ~ 2013
• Certificate of Completion the 7 Habits of Highly Effective People ~ 2013
• Certify the Coach Practitioner Program ACSTH International Coach Federation ~ 2012
• Crew member in Royal Carribean Cruiseship in Miami Florida since 1999 ~ 2005
• Tourism Academy University Of Trisakti D2
• Founder of Fikar School (School With Coaching Method) www.fikarschool.sch.id/fikar ~ 2008 up to now

The Story of Mr. Donny’s Struggle in Establishing the Fikar School
Saya mendirikan sekolah Fikar dari tahun 2008 sampai sekarang. Berawal dari keresahan saya terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Latar belakang pendidikan saya bukan dari ‘Pendidikan’ dan ‘Psikologi’, tetapi dari akademi ‘Pariwisata’, di Jakarta Alasan saya terjun ke dunia pendidikan ini adalah karena pengalaman pribadi saya. Saat saya dulu bekerja di luar negeri tepat di Amerika di sebuah perusahaan kapal pesiar Royal Caribbean, saya melihat orang-orang yang berasal dari Indonesia, walaupun sudah lulus kuliah, mereka harus mulai bekerja dari level paling bawah dan ini karena, menurut saya Observasi, Kualitas Pendidikan di Indonesia Meski lulusan perguruan tinggi, namun keterampilan dan karakternya belum sesuai dengan tuntutan pekerjaan.

Ketika saya melihat lebih jauh ke masa lalu, saya bersekolah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Saya mengalami terlalu banyak penekanan pada mata pelajaran dan pelajaran akademis sehingga saya tidak membutuhkannya untuk masa depan saya Itu hanya karena itu adalah kewajiban yang saya miliki untuk melakukan (dan belajar), sehingga terpaksa saya menjalaninya juga HANYA demi selembar ijazah.
Aku tidak pernah ditanya apa cita-citaku oleh karena itu, walaupun aku sudah mendapatkan pekerjaan, aku merasa pekerjaan yang aku jalani BUKAN pekerjaan yang aku sukai Aku merasa ada yang kurang dalam hidupku, aku ingin berkontribusi tapi aku tidak tahu harus berbuat apa hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku padahal gajiku sangat besar… Saat aku bekerja di kapal pesiar, hatiku terasa sangat hampa..

Kemudian saya berhenti bekerja disana dan memutuskan untuk menjadi seorang wirausaha, namun saya tidak tahu harus berbuat apa setelah saya mencoba beberapa bidang dan kebanyakan gagal, saya merasakan ‘panggilan’ untuk memasuki dunia pendidikan. Saya merasa itu karena saat saya bekerja, saya sangat dekat dengan para penumpang kapal pesiar, terutama anak-anak. Saya senang dekat dengan mereka dan mereka merasakan hal yang sama. Beberapa kali tamu (penumpang) kapal tersebut ingin mengadopsi saya menjadi anak mereka dan juga saya disukai oleh anak-anak mereka.

Saya juga suka memberikan ‘pelatihan’ kepada teman-teman kru saya saat bekerja di kapal pesiar karena dalam beradaptasi bekerja disana, saya sangat sabar dalam mendampingi mereka sampai mereka mahir dalam bekerja Dengan pengalaman tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang berbeda dengan pendidikan formal pada umumnya pendidikan formal yang menitikberatkan hanya pada pendidikan akademik tanpa memperhatikan apa yang dibutuhkan seorang anak. Yang selalu saya inginkan adalah pendidikan yang sesuai dengan bakat dan passion mereka

Setiap anak itu unik, mereka mempunyai potensi yang sangat besar jika kita menyadarinya
Mungkin ada di antara kita yang bekerja tanpa passion, hanya menunggu akhir bulan untuk mendapatkan gaji Bahkan kita mempunyai slogan: “Aku benci hari senin” Kenapa? Karena itulah yang kami rasakan ketika mulai bekerja, dan itulah yang saya rasakan dengan penghidupan saya di tempat kerja walaupun saya dibayar banyak (cukup), saya masih merasa hampa di hati saya. Saya pikir saya harus melakukannya melakukan sesuatu yang akan membuat generasi mendatang tidak lagi merasakan apa yang saya rasakan saat itu. Walaupun saya tidak mempunyai latar belakang pendidikan atau psikologi, namun saya mempunyai keberanian untuk memasuki dunia pendidikan. namun bukan pendidikan formal yang ingin saya ikuti karena pengalaman saya bersekolah tidak memberikan kualifikasi yang mumpuni. pendidikan sesuai dengan potensi dan keterampilan yang saya miliki, melainkan hanya mengejar ijazah saja..dan setelah itu, selanjutnya apa? Membingungkan!

Saya yakin setiap orang punya ‘panggilan’ untuk berkontribusi pada masyarakatnya, tapi sistem pendidikan di Indonesia tidak mengakomodirnya. jadi, mereka hanya mencari uang, dan tak lama lagi mereka akan merasakan kehampaan lagi.

Berapa lama uang akan memuaskan kita..? jika ‘pengejaran uang’ ini tidak bisa dikendalikan, maka akan menimbulkan malapetaka. Saya kira kita harus belajar dari kasus-kasus korupsi yang ada di negara kita, oleh karena itu, saya berani terjun ke dunia pendidikan sebagai ‘guru’ kita, Stephen Covey, mengajarkan kita untuk fokus pada lingkaran pengaruh kita, pada apa yang bisa kita lakukan.

Impian saya adalah mendirikan sekolah ramah anak sekolah yang fokus membangun potensi terbaik yang dimiliki anak, bukan sekedar sekolah yang menjejali pendidikan akademis tapi harus membangun karakter terbaik anak. Saya mempunyai keyakinan bahwa karakter/kepemimpinan yang baik dan kuat akan menumbuhkan rasa percaya diri anak yang tinggi Itulah hal-hal baik yang akan diikuti orang lain seperti kegigihan dalam menggapai masa depannya, mempunyai sikap yang baik, mempunyai spiritual yang baik (bukan sekedar ritual belaka namun bisa menjadi bagian dari karakter dan identitasnya)

Pendekatan pendidikan inilah yang sangat saya inginkan. dan saya pribadi menyekolahkan anak saya di sekolah ini ~ sekolah yang kami kelola. Saya ingin melihat beliau tumbuh dengan karakter dan kepemimpinan yang kuat, karena kami menyadari bahwa karakter yang baik itu harus ada. dibentuk sedini mungkin hingga menjadi sebuah kebiasaan yang mendarah daging. Akan sulit jika pembentukan karakter dimulai setelah mereka dewasa karena sudah memiliki jati diri yang terbentuk sejak lama, dan jika ingin diubah , mereka harus melalui perjuangan yang sangat berat seperti kisah hidup saya.

disini ada beberpa quote yang bermanfaat :

  • Ketika kita menabur pikiran kita, kita akan membentuk tindakan.
  • Ketika kita menabur perbuatan kita, maka kita akan membentuk kebiasaan.
  • Ketika kita menabur kebiasaan kita, kita akan membentuk takdir.

Nah, sekarang pertanyaannya : “Kemana kita bawa pendidikan untuk anak-anak kita?”
Pendidikan adalah awal untuk pembentukan pikiran anak-anak kita.
Apakah sudah sesuai dengan potensi terbaik yang dimiliki anak-anak kita, atau malah ‘mematikan’ potensinya?